Jumat, 11 Februari 2011

Politik Islam Indonesia di Masa-Masa yang Akan Datang, Prospek dan Tantangan-tantangannya


Munculnya partai-partai Islam belakangan ini telah menimbulkan perdebatan tersendiri kalau bukan masalah kontroversi. Dalam pandangan sementara kalangan, fenomena itu dinilai sebagai perwujudan dari hadirnya kembali politik Islam, atau yang secara salah kaprah diistilahkan sebagai "repolitisasi Islam". Penilaian yang pertama bernada positif, karena seperti agama-agama lain, Islam memang tidak bisa dipisahkan dari politik. Penilaian kedua, jika istilah itu dipahami secara benar, adalah negatif. Istilah "politisasi" (terhadapa apa saja) selalu merupakan bagian dari rekayasa yang bersifat pejorative atau manipulatif. Bisa dibayangkan apa jadinya jika hal tersebut dikenakan pada sesuatu yang mempunyai sifat ilahiyah (devine) seperti agama Islam.
Tidak diketahui secara persis apa yang dimaksud oleh sementara pihak yang melihat maraknya kehidupan politik Islam dewasa ini sebagai suatu fenomena yang dapat diberi label repolitisasi Islam. Meskipun demikian, kalau menilik indikator utama yang digunakan sebagai dasar penilaian itu adalah munculnya sejumlah partai politik yang menggunakan simbol dan asas Islam atau yang mempunyai pendukung utama komunitas Islam, maka tidak terlalu salah untuk mengatakan bahwa yang dimaksud adalah fenomena munculnya kembali kekuatan politik Islam. Hal yang dmeikian itu di dalam perjalanannya selalu terbuka kemungkinan untuk "memolitikkan" bagian-bagian yang menjadi dasar idiologi partai-partai tersebut.
Makna Politik Islam
Politik ialah cara dan upaya menangani masalah-masalah rakyat dengan seperangkat undang-undang untuk mewujudkan kemaslahatan dan mencegah hal-hal yang merugikan bagi kepentingan manusia. (Salim Ali al-Bahnasawi, Wawasan Sistem Politik Islam [Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, Cet. I]).
Politik Islam ialah aktivitas politik sebagian umat Islam yang menjadikan Islam sebagai acuan nilai dan basis solidaritas berkelompok. Pendukung perpolitikan ini belum tentu seluruh umat Islam (baca: pemeluk agama Islam). Karena itu, mereka dalam kategori politik dapat disebut sebagai kelompok politik Islam, juga menekankan simbolisme keagamaan dalam berpolitik, seperti menggunakan perlambang Islam, dan istilah-istilah keislaman dalam peraturan dasar organisasi, khittah perjuangan, serta wacana politik.
Hakikat Politik Islam
Politik Islam secara substansial merupakan penghadapan Islam dengan kekuasan dan negara yang melahirkan sikap dan perilaku (political behavior) serta budaya politik (political culture) yang berorientasi pada nilai-nilai Islam. Sikap perilaku serta budaya politik yang memakai kata sifat Islam, menurut Dr. Taufik Abdullah, bermula dari suatu keprihatinan moral dan doktrinal terhadap keutuhan komunitas spiritual Islam.
Dilema Politik Islam
Dalam penghadapan dengan kekuasaan dan negara, politik Islam di Indonesia sering berada pada posisi delematis. Dilema yang dihadapi menyangkut tarik-menarik antara tuntutan untuk aktualisasi diri secara deferminan sebagai kelompok mayoritas dan kenyataan kehidupan politik yang tidak selalu kondusif bagi aktualisasi diri tersebut. Sebagai akibatnya, politik Islam dihadapkan pada beberapa pilihan strategis yang masing-masing mengandung konsekuensi dalam dirinya.
Pertama, strategi akomodatif justifikatif terhadap kekuasaan negara yang sering tidak mencerminkan idealisme Islam dengan konsekuensi menerima penghujatan dari kalangan "garis keras" umat Islam.
Kedua, strategi isolatif-oposisional, yaitu menolak dan memisahkan diri dari kekuasaan negara untuk membangun kekuatn sendiri, dengan konsekuensi kehilangan faktor pendukungnya, yaitu kekuatan negara itu sendiri, yang kemudian dikuasai dan dimanfaatkan oleh pihak lain.
Ketiga, strategi integratif-kritis, yaitu mengintegrasikan diri ke dalam kekuasaan negara, tetapi tetap kritis terhadap penyelewengan kekuasaan dalam suatu perjuangan dari dalam. Namun, strategi ini sering berhadapan dengan hegemoni negara itu sendiri, sehingga efektifitas perjuangannya dipertanyakan.
Salah satu isu politik yang sering menempatkan kelompok Islam pada posisi dilematis yang sering dihadapi politik Islam adalah pemosisian Islam vis a vis negara yang berdasarkan Pancasila. Walaupun umat Islam mempunyai andil yang sangat besar dalam menegakkan negara melalui perjuangan yang panjang dalam melawan penjajahan dan menegakkan kemerdekaan, namun untuk mengisi negara merdeka kelompok Islam tidak selalu pada posisi yang menentukan. Pada awal kemerdekaan, kelompok Islam yang mempunyai andil yang sangat besar dalam mengganyang PKI dan menegakkan Orde Baru tidak terwakili secara proporsional pada BPUPKI atau PPKI dan karenanya tidak memperoleh kesempatan untuk ikut menyelenggarakan roda pemerinthan. Mereka bagaikan "orang yang mendorong mobil mogok, setelah mobil jalan mereka ditinggal di belakang".
Sekarang pada era reformasi, gejala demikian mungkin terulang kembali. Peran kelompok Islam, baik tokoh Islam maupun mahasiswa Islam dalam mendorong gerakan reformasi sangat besar. Namun, pada perkembangan selanjutnya, gerakan reformasi tidak selalu berada dalam pengendalian kelompok Islam.
Pengendali reformasi dan kehidupan politik nasional akan berada pada pihak atau kelompok kepentingan politik yang menguasai sumber-sumber kekuatan politik. Pada masa modern sekarang ini sumber-sumber kekuatan politik tidak hanya bertumpu pada masa (M-1), tetapi juga pada materi (M-2), ide (I-1), dan informasi (I-2). Kelompok politik Islam mungkin mempunyai kekuatan pada M-1 atau I-1, tetapi kurang pada M-2 dan I-2. Dua yang terakhir justru dimiliki oleh kelompok-kelompok kepentingan politik lain.
Situasi dilematis politik Islam sering diperburuk oleh ketidakmampuan untuk keluar dari dilema itu sendiri. Hal ini antara lain disebabkan oleh kurang adanya pemaduan antara semangat politik dan pengetahuan politik. Semangat politik yang tinggi yang tidak disertai oleh pengetahuan yang luas dan mendalam tentang perkembangan politik sering mengakibatkan terabainya penguatan taktik dan strategi politik. Dua hal yang sangat diperlukan dalam politik praktis dan permainan politik.
Dilema politik Islam berpangkal pada masih adanya problem mendasar dalam kehidupan politik umat Islam. Problema tersebut ada yang bersifat teologis, seperti menyangkut hubungan agama dan politik dalam Islam. Tetapi, ada yang bersifat murni politik, yaitu menyangkut strategi perjuangan politik itu sendiri dalam latar kehidupan politik Indonesia yang kompleks dengan kelompok-kelompok kepentingan politik majemuk.
Problema Politik Islam
Selain problem yang berasal dari dikotomi santri abangan di kalangan umat Islam (dikotomi ini adalah konsekuensi logis dari proses islamisasi yang tidak merata di berbagai daerah nusantara serta perbedaan corak tantangan kultural yang dihadapi), politik Islam juga menghadapi problema yang berkembang dari adanya kemajemukan di kalangan kelompok Islam itu sendiri. Adalah suatu kenyataan yang tidak dapat dipungkiri bahwa kelompok politik Islam bukanlah merupakan suatu kelompok kepentingan tunggal. Hal ini ditandai oleh banyaknya partai-partai yang bermunculan di kalangan kelompok Islam, baik yang berdasarkan diri pada idiologi dan simbol keislaman maupun yang berbasis dukungan umat Islam.
Pada era reformasi dewasa ini terdapat banyak partai Islam atau partai yang berbasis dukungan umat Islam, seperti Partai Persatuan Pembangnunan (PPP), Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), Partai Umat Islam (PUI), Partai Masyumi Baru, Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Keadilan (PK), Partai Nahdhatul Ummat (PNU), Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dan yang lainnya.
Fenomena maraknya partai Islam dan partai berbasis dukungan umat Islam merupakan refleksi dari kemajemukan umat Islam dan keragaman kepentingan kelompok Islam. Kelahiran partai-partai tersebut merupakan buah eforia politik yang tidak terelakkan dari proses reformasi. Proses reformasi yang terjadi memang memberikan angin segar kebebasan bagi warga negara untuk berserikat dan berkelompok yang selama 30 tahun telah terkungkung oleh kekuasaan absolut sentralistik.
Pluralisme politik Islam merupakan refleksi dari pluralisme masyarakat Islam. Sedangkan pluralisme masyarakat Islam itu sendiri merupakan kensekuensi logis dari proses islamisasi di sebuah negara kepulauan, yang dari satu tempat ke tempat yang lain berbeda intensitasnya. Dalam konteks hubungan antardaerah yang tidak mudah di masa lampau, maka terbuka kemungkinan bagi berkembang kelompok atau organisasi Islam yang mempunyai ciri-ciri dan jati diri masing-masing. Kelompok yang kemudian mengkristal menjadi berbagai organisasi ini, selain mempunyai titik temu pandangan, juga mempunyai dimensi kultural tertentu yang membedakan dengan kelompok umat Islam lain. Pada tingkat tertentu, komitmen kultural ini telah mengembangkan rasa solidaritas kelompok di kalangan umat Islam yang mengalahkan rasa solidaritas keagamaan mereka.
Dimensi kultural pada berbagai kelompok Islam mengakibatkan mereka sulit bersatu dalam kehidupan politik. Oleh karena itu, penggabungan partai-partai Islam ke dalam satu wadah tunggal nyaris menjadi utopia. Eksperimen pada masa Orde Lama melalui Masyumi, umpamanya, mengalami kegagalan dengan keluarnya NU dari PSII. Begitu juga eksperimen pada masa Orde Baru melalui fusi beberapa partai Islam: belum sepenuhnya berhasil mengkristalkan kepentingan unsur-unsur yang bersatu.
Politik Islam di Indonesia secara umum belum berhasil mencapai efektifitas politik. Salah satu pangkal efektifitas politik menurut Allan A. Samson adalah kepemimpinan. Kepemimpiman partai politik belum mampu memfungsikan partai sebagai medium artikulasi kepentingan politik umat Islam. Menurut Allan Samson, lebih lanjut, terdapat tiga faktor yang menyebabkan ketidakefektifan politik tadi, dan hal lain dapat juga disebut sebagai problema politik Islam.
Pertama, adanya overestimasi. Banyak pimpinan partai Islam tentang kekuatan yang dimilikinya atau aflikasi politik dari apa yang disebut dengan mitos kemayoritasan. Kedua, bersifat eksternal, yaitu adanya usaha pengrusakan yang disengaja oleh kekuatan politik luar. Ketiga, adanya perbedaan pandangan antara pimpinan partai tentang hubungan keyakinan keagamaan dan aksi politik.
Di atas semua itu, problem mendasar poitik Islam adalah kesulitan untuk mewujudkan persatuan, baik dalam skala antar-partai-partai Islam maupun dalam skala intra-satu partai Islam. Partai Islam rentan terhadap konflik, dan konflik partai rentan terhadap rekayasa internal.
Berbagai problem tersebut harus mampu diatasi oleh partai-partai Islam pada era reformasi dewasa ini. Adanya penggabungan secara menyeluruh mungkin tidak realistis, kecuali mungkin di antara partai-partai Islam yang berasal dari rumpun yang sama. Alternatif lain yang tersedia adalah koalisi, sehingga hanya ada beberapa partai Islam saja yang ikut dalam pemilu.
Perubahan Politik Islam
Berbicara tentang perkembangan situasi politik dalam negeri menurut perspektif Islam, kita mengenal setidaknya dua periode yang secara signifikan memberikan pengaruh yang berbeda, yakni periode pra dan pasca 90-an.
Yang pertama adalah periode beku yang ditandai dengan ketegangan hubungan antara umat Islam dengan pemerintah, sedangkan yang kedua adalah pencairan dari yang pertama, yakni ketika pemerintah beruabah haluan dalam menatap umat Islam dalam setting pembangunan nasional.
Situasi pra 90-an diakui sarat dengan isu politik yang mempertentangkan umat Islam dengan pemerintah. Peristiwa Tanjung Priok, Aceh, Lampung, Komando Jihad, peledakan Borobudur, dan yang lainnya telah memanaskan situasi. Peristiwa-peristiwa tersebut, sejak Orde Baru berdiri, mengukuhkan citra pertentangan antara umat Islam dengan pemerintah. Situasi ini pada gilirannya menjadikan organisasi Islam tidak berani "tampil" secara lantang menyuarakan aspirasinya.
Tetapi, situasi tersebut berangsur berubah pada pasca 90-an. Angin segar seakan bertiup sejuk ke tubuh umat Islam. ICMI terbentuk, Soeharto naik haji, jilbab dilegalisasi di sekolah menengah, lolosnya peradilan agama dan pendidikan nasional yang dinilai menguntungkan, pencabutan SDSB, pendirian BMI, serta suasana keberislaman kalangan birokrasi yang semakin kental, dan lain-lain yang menandai era baru: politik akomodasi, umat Islam yang selama ini dianggap sebagai rival kini tidak lagi. Tumbuh di kalangan pemerintah dan juga ABRI (pada waktu itu), bahwa pembangunan Indonesia tidak akan berhasil tanpa menyertakan umat Islam yang mayoritas, umat Islam harus dianggap sebagai mitra.
Layaknya bola salju, era akomodasi ini bergulir deras dan cenderung besar, efeknya terasa, kini bukan tabu lagi umat Islam berbicara tentang aspirasi Islam. Di kalangan pemerintah juga tampak adanya upaya untuk "menyinggung" perasaan umat Islam. Demikian terus dalam beberapa tahun terakhir, proses "islamisasi" seakan berjalan lancar tanpa halangan.
Ada dua teori guna meramalkan masa depan bola salju tadi. Pertama, bahwa kelak bola salju itu makin besar. Artinya, kesadaran keberislaman makin menyebar dan marak menyelimuti semua kalangan. Kedua, adalah antitesis yang pertama. Bola salju tadi memang membesar, tetapi hanya sesaat kemudian pecah berkeping-keping akibat terlalu kencangnya meluncur atau lemahnya ikatan unsur-unsur pembentuk bole tersebut. Sebagai kemungkinan alternatif ini bisa terjadi. Yakni, bila umat Islam terlalu kencang meluncurkannya, sementara ikatan di tubuh umat dan situasi belum cukup kuat, atau mungkin juga latar belakang ada orang lain yang sengaja memukul hancur. Bila ini terjadi, kita tidak bisa membayangkan seperti apa jadinya, dan butuh beberapa waktu lagi untuk mendapatkan keadaan serupa, dan di era reformasi sampai saat ini (2002) umat Islam dalam berpolitik sudah terpecah-pecah, itu suatu kenyataan riil yang kita lihat.
Dalam konteks Islam, perkembangan munculnya partai-partai Islam yang berada di atas angka 50-an--meskipun kemudian melalui proses verifikasi, hanya 48 partai yang dinilai layak mengikuti pemilu--telah melahirkan penilaian tersendiri. Yang paling umum adalah pandangan mengenai munculnya kembali kekuatan politik Islam. Orang pun kemudian mengingat-ingatnya dengan istilah "repolitisasi Islam", sesuatu yang bisa menimbulkan konotasi tertentu, mengingat pengalaman Islam dalam sejarah politik Indonesia. Padahal, kita sebenarnya boleh menanyakan apakah benar Islam sejatinya pernah berhenti berpolitik? Walaupun dengan itu, pertanyaan tersebut bukan untuk mengisyaratkan bahwa Islam itu adalah agama politik.
Meskipun demikian satu hal yang harus diingat bahwa mayoritas penduduk Indonesia adalah beragama Islam. Langsung atau tidak langsung, yang demikian itu mempunyai implikasi politik. Dengan kata lain, kekuatan politik apa pun, lebih-lebih partai politik, akan sangat memperhitungkan realitas demografis seperti itu. Artinya, massa Islam bakal diperebutkan oleh kekuatan-kekuatan politik guna mencari dukungan.
Bak "gadis" yang akan selalu diperebutkan, bagaimana seharusnya Islam bersikap di tengah polarisasi politik yang tajam ini? Jelas, ini bukan pertanyaan yang mudah dijawab. Seandainya tersedia jawaban pun ia bukan suatu yang dapat diperebutkan. Artinya, akan tersedia banyak jawaban. Dan semua itu akan sangat dipengaruhi dan dibentuk oleh preferensi politik yang bersangkutan.
Dalam situasi seperti ini, ada baiknya kita kembali kepada makna beragama. Ada apa sebenarnya fungsi Islam dalam kehidupan. Seperti telah sering dikemukakan, agama dapat dilihat sebagai instrumen ilahiyah untuk "memahami" dunia. Dibandingkan dengana agama-agama lain, Islam paling mudah menerima premis ini. Salah satu alasannya terletak pada sifat Islam yang omnipresence. Ini merupakan suatu pandangan bahwa "di mana-mana" kehadiran Islam hendaknya dijadikan panduan moral yang benar bagi tindakan tingkah laku manusia.
Ada memang yang mengartikan pandangan seperti ini dalam konteks bahwa Islam merupakan suatu totalitas. "Apa saja" ada dalam Islam. Seperti firman Allah dalam Al-Qur'an yang artinya, "Tidak kami tinggal masalah sedikit pun dalam Al-Qur'an." Lebih dari itu, Islam tidak bisa dipisahkan dari kehidupan sosial-ekonomi dan politik. Terutama karena itu, ada yang berpendapat bahwa Islam itu sebenarnya mencakup negara--sesuatu yang kemudian dirumuskan dalam jargon "innal Islam dinun wa dawlah".
Kesimpulan
Tidak dipungkiri lagi politik Islam adalah suatu keharusan dalam sebuah komuniatas Islam yang majemuk. Tetapi, di sisi lain, ia pun tidak lepas dari dilema-dilema dan problema-problema yang merupakan konsekuensi dalam dirinya. Untuk mengatasi hal-hal tersebut, maka diperlukan strategi dan taktik jitu perjuangan politik dalam latar kehidupan politik Indonesia yang kompleks dengan kelompok-kelompok kepentingan politik majemuk.
Referensi:
  1. Repolitisasi Islam, Bakhtiar Effendy
  2. Islam Idiologi, Ir. Ismail Susanto
  3. Etika Agama dalam Membangun Masyarakat Madani, Prof. Dr. Din Syamsudin
  4. Wawasan Sistem Politik Islam, Dr. Salim Ali al-Bahnasawi

Doa Adab Terhadap Teman

[DOA] adab teRhadap teman

Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa – bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.
[QS. Al Hujuraat, 49 : 13]
Doa dan Adab terhadap Teman
Manusia tidak bisa hidup sendiri, dia harus berteman dan bergaul dengan pergaulan yang baik. Dilarang kita bergaul dengan orang yang akan menjerumuskan kita ke lembah kenistaan. Dalam soal ini kita harus tegas memberi peringatan dan teguran. Firman Allah :

يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ
Yaa ayyuhal ladziina aamanuu attaqullaaha wa kuunuu ma’ash shaadiqiin..
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama/berteman dengan (orang-orang yang benar)” (Q.S. At-Taubah, 9 : 119)
Pergaulan harus dibatasi. Terhadap lawan jenis kita dilarang bergaul bebas. Selain dengan mahram (muhrim) kita dilarang berjalan atau duduk-duduk berduaan.
Dalam setiap berdoa kita dianjurkan selain mendoakan untuk diri sendiri juga mendoakan orang lain. Doa yang paling baik terhadap orang lain yaitu doa yang tidak diketahui oleh orang didoakan oleh kita. Doa semacam ini yang lebih dimakbulkan oleh Allah. Dalam hampir banyak doa menggunakan kata-kata:
kami = نـا yang dimaksudkan untuk mendoakan terhadap sesama Muslim
Misalnya, doa mohon petunjuk jalan yang lurus

اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيمَ
Ihdinash shiraathal mustaqiim..
“Tunjukilah kami jalan yang lurus,” (Q.S. Al-Fatihah, 1 : 5)
Berikut doa terhadap saudara/teman:

بِالْإِيمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوبِنَا غِلًّا لِلَّذِينَ ءَامَنُوا رَبَّنَا إِنَّكَ رَءُوفٌ رَحِيمٌ
Rabbanaaghfirlanaa wali ikhwaaninaalladziina sabaquunaa bil iimaani walaa taj’al fii quluubinaa ghillallilladziina ’aamanuu rabbanaa innaka ra’uufur rahiim..
“Ya Tuhan kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang”. (Q.S. Al-Hasyr, 59 : 10)

Karokean Yuk....!!!

http://www.1227.com/
Situs ini mengajak anda untuk berkaraoke tapi dengan cara yang tidak biasa karena menggunakan javascript yang lain. Asyik lho....

Uuuu Takut...!!!

http://gandhi.isgreat.org/
situs ini menyeramkan bikin kaget orang bahkan lebih parah dari killerjo.. penasaran klik dong..!!

???

Jangan pernah membuka atau mengklik llink situs di bawah ini  atau anda akan menyesal. Anda bisa terkena serangan jantung dan stress berat. Tapi bila anda penasaran, silahkan anda coba.

 http://killerjo.net/
pasti dah pada tau ini situs apa.. neh situs paling terkenal.. suaranya itu lho

Pemikiran Politik Islam Indonesia


Sumber: Kompas, 24 Desember 2009
Peresensi: Ahmad Khotim Muzakka
Judul Buku : Pemikiran Politik Islam Indonesia, Pertautan Negara, Khilafah, Masyarakat    Madani dan Demokrasi
Penulis  : Syarifuddin Jurdi
Penerbit : Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Cetakan : pertama, Juli 2008
Tebal  : XXI + 678 halaman

Relasi  politik, kekuasaan, masyarakat, dan agama dasawarsa ini patut dicermati dengan penuh ketelitian, dengan jidat yang berlipat-lipat. Pasalnya, pertautan antara mereka lambat laun menuju arah yang agak kabur. Entah, inikah imbas dari pesan demokrasi pascareformasi atau hanya fenomena temporer yang sekala waktu bisa hilang di telan mahkamah sejarah. Hingga akhirnya lahir “wajah baru” yang meramaikan dalam jangka tempo yang entah.

Lewat buku ini, Jurdi memamerkan segepok pandangannya tentang hubungan agama (baca: Islam) dengan kuasa bernama negara, aparatur pemerintah, dan polemik yang memercantik intrik—saat pemangku agama hendak memerlihatkan kepeduliannya terhadap kondisi politik Islam di Indonesia. Ini begitu terlihat pada kata pengantarnya yang menyatakan “gagasan mengenai relasi Islam dan negara setelah kejatuhan rezim Orde Baru menemukan fase baru dalam konteks politik mengenai relasi Islam dan negara.” (hal XI)

Penulis yang merampungkan program doktoralnya di bidang kajian ilmu politik pada salah satu Universitas termuka di Yogyakarta ini, membagi buku setebal 678 halaman ini ke dalam empat tahapan pembahasan, yang tentunya, saling berkesinambungan. Karya tebal ini adalah karya serius Jurdi setelah menamatkan beberapa karya sebelumnya yang juga berkutat pada tema seragam. Yakni isu menggiurkan, politik ke-Islaman masa kini. Keseragamannya ini menegaskan bahwa penulis merupakan segelintir orang yang mau berjibaku secara serius dalam tema “layak media” ini.

Bagian pertama, Jurdi menjejali ulasan pemulanya dengan konsep Negara yang dihubungkan dengan nafas ke-islaman. Kayaknya, Jurdi begitu antusias hendak me-satumeja-kan Negara bersanding agama. Ini bisa dirasakan saat membaca sub-bab yang secara tematik, seolah, memberikan asupan kepada pembaca tentang konsep negara “ideal” versi Islam. Bahwa dalam doktrin Islam telah termaktub aneka ragam kriteria ideal sebuah negara bisa disebut demikian: Negara Ideal.

Di tengah usaha keras penulis menyusun “relief” kasar data dari seabrek pandangan mengenai Negara versi Islam, Jurdi pun sejenak menenggelamkan diri pada pandangan Barat tentang Negara. Namun, porsi yang ditampilkan tidak berimbang. Karena hanya diselipkan di sela-sela “ketegangan”nya menjabarkan versi Islam. Permasalahan ini diulas hanya pada laman 39-49.

Bagi Hegel, “Negara adalah akal di bumi dan dengan sadar merealisasikan diri di sana.” Sedangkan di samping Max Weber Negara serupa lembaga yang memiliki keabsahan untuk melakukan tindak kekerasan terhadap warganya. Kayaknya, konsep Weberlah yang selama kurun Orde lama dipaksa-terapkan di tengah masyarakat. Pemerintahan otoriter. Mental penjajah. Sementara itu Karl Marx memunyai cara pandang unik. Negara yang baik yaitu negara yang dihuni oleh masyarakat sosialis bukan demokratis.

Saya sedikit agak terganggu ketika membaca Bab Kepemimpinan Politik Islam. Di sini ditulis pemilihan hanya sah kalau paling kurang dilakukan lima orang. Ini berlandas atas kasus pemilihan Abu Bakar saat diangkat sebagai khalifah yang hanya diwakili lima orang saja. Ada yang lebih ekstrem yaitu cukup hanya dengan tiga dan atau satu orang saja. Untuk kali terakhir saya sebut pernah berlaku pada masa Ali bin Abi Thalib yang diangkat hanya oleh Abbas, pamannya. Masihkah konsep ini layak berlaku?

Untuk selanjutnya Jurdi hanya menarasikan ulang bagan pemerintahan yang baik yang banyak ditemui di buku-buku serupa tema. Tidak ada yang baru. Pada akhir bagian pertama buku bertajuk Pemikiran Politik Islam Indonesia, Pertautan Negara, Khilafah, Masyarakat Madani dan Demokrasi, Jurdi (entah karena apa?) menyodori pembaca dengan Sejarah politik Islam Indonesia. Yang dihiasi dengan hadirnya Sarekat Islam (SI), di mana Agus Salim sebagai salah seorang pemimpinnya, Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI), Partai Islam Indonesia (PII), hingga dibentuk Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Hingga masuknya politik Islam di gerbang Orde Baru. Yang kesemuanya, sekelumit itu. Tapi tak apa, saya kira Jurdi hendak menghidangkannya sebagai “bumbu” buku ini. Biar berasa tak tawar. Masalah ini juga dibahas pada halaman 233-284 (Bagian Kedua).

Bagian kedua dibuka dengan sambutan hangat Samuel Huntington yang dipajang berbunyi, “Rakyat telah mati kecuali para ulama, para ulama telah mati kecuali mereka yang mempraktikkan pengetahuan mereka, mereka semua mati kecuali yang salih, dan mereka dalam bahaya besar.” Ada satu-dua kalimat Huntington yang patut kita renungkan yaitu “Kita hanya akan tahu siapa kita ketika kita mengetahui siapa “yang bukan kita” dan itu hanya dapat diketahui melalui “dengan siapa kita sedang berhadapan.”

Yang menarik dari Perjuangan Politik Islam: Antara Simbolisasi dan Substansi adalah kenyataan bejibunnya kelompok-kelompok Islam yang memiliki pandangan yang secara telak bertolak—oleh karenanya, tak bisa dipersatukan. Heterogenitas ini kerap membawa tikai tak berkesudahan. Yang muncul adalah saling-silang mencurigai belbagai aktifitas yang ditunaikan kelompok tertentu.

Optimisme Jurdi terhadap Islam formalis pembawa “bendera” agama kemana-mana seakan tumbang ketika dihadapkan pada gagasan Cak Nur (1970-an) yang populer dengan istilah “Islam Yes, Partai Islam, No!” Apalagi jika dipertemukan dengan langkah radikal Gus Dur yang mengusung sekularisasi politik sebagai gerakan kultural. Yang justru, pada akhirnya, Gus Dur “bermain” juga pada tingkat struktural (politik). Mengenai hal ini, Jurdi lebih jauh berkomentar: “Kalau saja polemik antara kalangan Islam simbolik dan substantif di awal ’70-an berlangsung terus tanpa terputus oleh kebijakan rezim Orde Baru, kemungkinan untuk menemukan titik temu mengenai relasi agama dan negara di negeri ini terlalu rumit seperti sekarang ini…” (halaman 218). Ah, benarkah pak Jurdi?

Tak ada yang istimewa ketika sampai pada Bagian Ketiga. Di sini didominasi berlaman “profil” kelompok-kelompok Islam berhaluan kanan laiknya Hisbut Tahrir, Majelis Mujahidin Indoensia, Laskar Jihad Ahlul Sunah Wal-Jamaah, Front Pembela Islam, dan sebagai penutup generasi, Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (383-457) diketengahkan. Setelah sebelumnya diulas tentang Gerakan Islam Indonesia Kontemporer dan Islam Indonesia dan Politik Global.

Hanya saja pada bagian ini, jika mau membaca, ada kalangan yang bermerah telinga. Yaitu kritik kepada KAMMI yang bagi Jurdi perkembangannya, “…menggembirakan”, “karena mampu menarik simpati massa mahasiswa  di berbagai perguruan tinggi negeri besar. Tapi pada sisi lain juga menimbulkan kebingungan berbagai pihak melihat organisasi ini sebagai sebuah Ormas yang independen dan tidak mempunyai hubungan politik mana pun,” jelasnya.

Namun, lanjut Jurdi, fakta menunjukkan bahwa KAMMI menjadi bagian dari salah satu kekuatan politik tertentu dan kegiatan-kegiatan demonstrasinya merupakan “pesan” dari kekuatan politik tertentu pula. Yang perlu diperhatikan pula oleh aktifis KAMMI yaitu mengenai prioritas basis keilmuwan harus lebih ditekuni daripada kegiatan demonstrasi yang mencitrakannya sebagai elemen Islam yang “hidup” di jalan.

Serupa penutup, pada Bagian Keempat, dijabarkan secara panjang mengenai konsep berbingkai Islam, Masyarakat Madani dan Demokrasi. Dalam banyak teori Jurdi lebih menyukai konsep yang termaktub dalam wahyu Tuhan perihal Islam yang unggul. Dan kayaknya Jurdi juga tergoda dengan Masyarakat Yatsrib (Madinah), yang menurutnya, bisa dijadikan contoh oleh umat Islam. Mengapa? Masyarakat Madinah bersatu dalam perbedaan, baik latar belakang sosial, ekonomi, budaya dan adat-istiadat maupun keyakinan. Pun, selayaknya ini kita praktikkan di sini: Indonesia. Secara isi, Jurdi berhasrat: Islam dijadikan landasan dalam berpolitik. Islam sebagai tawaran kata lain.